Kartu Indonesia Pintar merupakan bagian dari kebijakan Joko Widodo. Kartu ini diresmikan bersamaan dengan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Keluarga Sejahtera pada 3 November 2014.[1][2] Upaya ini oleh partai oposisi dianggap untuk meredam sementara kenaikan harga BBM.[3] Jokowi dikritik karena meluncurkan program yang tidak memiliki payung hukum dan melanggar tertib anggaran,[4] namun hal ini dibantah oleh Jusuf Kalla, dengan argumen bahwa program kartu tersebut sebenarnya kelanjutan dari program yang sudah ada sehingga anggarannya pun mengikuti program tersebut.[5]
Sasaran
KIP menyasar 24 juta siswa kurang mampu yang sebelumnya terdaftar sebagai penerima Bantuan Siswa Miskin.[1] Pada tahap pertama, KIP akan diterapkan di 18 kabupaten/kota dengan sasaran 152.434 siswa di jenjang SD, SMP, SMA/SMK.[2] Berdasarkan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, KIP direncanakan menyasar 20,3 siswa kurang mampu.[6]Distribusi
Distribusi KIP memiliki masalah karena pemutakhiran data yang belum selesai; data yang menjadi acuan pemerintah sekarang masih menggunakan data pemutakhiran penduduk 2011.[7] Pada 7 Oktober 2015, Joko Widodo meminta agar distribusi KIS, KIP, dan KKS dipercepat karena pelambatan ekonomi global dan nasional. KIP ditargetkan akan didistribusikan sebanyak 20,3 juta kartu,[8] dan pada 21 Desember 2015, sebanyak 19 juta KIP telah didistribusikan.[9]Penerimaan
Dalam survei nasional yang dilakukan Indo Barometer di 34 provinsi pada 14-22 September 2015, dari 1.200 responden, sebanyak 5,1% memersepsikan keberhasilan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada pemberian Kartu Indonesia Pintar.[10]Penyalahgunaan
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menemukan penyalahgunaan KIP untuk membeli helm dan pulsa. Ia meminta kepada agar semua pihak yang terkait mengawasi penggunaan KIP.[11] Apabila disalahgunakan, maka kepemilikan KIP akan dicabut.[12]